Akhirnya kita hanya bisa menjadi pelajaran dan catatan kelam
Ada masa dimana mimpi
terburai tak berhenti diciptakan
Berjejer di emperan
jalan, tercecer tak dihargai
Seluruh dunia menjadi
panggungnya,
tarian kita menghadirkan
riuh riang memekikkan telinga
kemana sayap itu saat
kita membutuhkannya
senyum terpancar isi
hati siapa yang tau
mungkin saja kala itu
kita masih bisa terus menari
mungkin saja kala itu
kita tak harus lari
tapi bukankah kita
hanyalah pelarian dari kenyataan?
Kita hanyalah sepasang
buih mimpi di lautan kehidupan
Mengejar ilusi di
sepanjang ombaknya
Hingga tiba kita
mencapai batasnya
Kita memang sudah
hancur, meledak di keheningan malam
Tapi setidaknya kita
pernah menantang dunia di dalam kerapuhan kita
Terlintas sepotong
dialog dari perjalanan ke Semarang kemarin, “berarti lo jahat dong?”, yes dear,
I am, but then again, I couldn’t help it myself, my whole body down to the
atomic nuclei craved for you. But I swear to god, I did the best I could, I
gave my best, all of what’s left (than that little part that had always been
occupied) I had given to her. It’s not me or the universe who created that
parallel time dimension, it was her, and I am thankful for those short time.
Kepada Matahari, Maaf dan Terima Kasih.
Bramantyo Adi Nugroho
Grateful man
condemned to chase angelic delusion