Semua orang pernah merasa kecewa, konon orang bahagia adalah mereka yang bangkit dari kekecewaan, karena hadapilah, 3/5 hidup kita dihabiskan dengan kecewa, kecewa karena kita absen jam 08.01, kecewa karena kehabisan gorengan mang jaja, kecewa karena dunia diam saat Rohingya terdzhalimi, kecewa karena dunia tak lagi magis seperti saat kita kecil, semua kekecewaan karena ekspektasi aneh yang muncul dari ruang kecil dalam kepala kita. Saat kecewa itu lah jiwa kita memberikan respon, sebagian menghadapinya dengan tenggelam dalam kegilaan dunia (seperti kata petuah "if you can't defeat them, join them"), pesta tak berakhir, alkohol agar lupa, wanita sebagai bukti kejantanan, sebagian beralih mengejar yang lebih tinggi dari dunia ini, surga, ibadah tanpa henti, mengharap dunia berhenti, di sana semua nyata dan tak ada kecewa.
Sejujurnya saya tidak tahu mana yang lebih baik di antara keduanya, bagi pikiran gila saya kedua opsi menyajikan solusi dalam menghadapi "kecewa". Ya, rasanya tidak adil kan, kita tak pernah memilih untuk dilahirkan, namun dunia terus saja mengkhianati kita, kenapa kita harus memikirkannya saat dunia dan seisinya tak memikirkan kita? salahkah bila kita memilih tenggelam dalam arusnya? atau bila kita memilih berenang ke darat dan meninggalkannya? di antara kegaduhan akan selalu muncul kalimat "kita hanya melakukan hal yang menurut kita paling baik untuk diri kita sendiri", kalimat pembenaran yang menenangkan bagai morphin untuk pasien yang tak kuasa menahan luka. Sadar atau tidak, kegaduhan itu tak akan berhenti selama kita memikirkan apa yang terbaik bagi diri kita.
Orang yang paling kita kenal adalah diri kita sendiri, tak ayal kita menganggap orang atau golongan tertentu aneh karena tak sependapat dengan kita, tak peduli walau perbedaan adalah hal yang wajar bila mengingat realitas yang kita anggap "nyata" adalah sekumpulan pengalaman yang kita alami dan membentuk diri kita. Dari situ lah muncul kosakata youniverse, sebuah semesta dimana hanya kita yang nyata, mata kita adalah kunci kebenaran dan pikiran kita adalah sabda. Apatis, dunia mendorong kita untuk bersifat acuh, mohon pahami bahwa saya sedang berusaha sopan, apathetic is merely a softer language for being cocky, kita ini sombong, bahkan terlalu sombong untuk mengakui bahwa hidup kita lebih penting dari hidup orang lain.
Adakah hal yang lebih mudah dari melarikan diri? Hey, bukankah hidup yang demikian adalah melarikan diri? Tentu saja tak akan ada yang menghakimi tindakan demikian, semua orang tahu bahwa hidup itu tidak mudah, tapi mari kita renungkan bagaimana bila Rasulullah SAW memiliki sifat demikian, tidak mungkin tentu saja, tapi coba sebentar saja kita renungkan kalau Rasulullah SAW memiliki sifat sombong seperti kita. Rasulullah SAW, satu-satunya manusia yang telah menginjak Sidratul Muntaha, bertemu Allah SWT, dijaminkan tempat tertinggi dalam surga, kemudian kembali ke dunia yang menurut otak kecil kita ini tidak adil, beliau rela kembali untuk membuatnya menjadi tempat yang lebih baik untuk ummatnya, rela diperlakukan rendah untuk menjadi teladan dan menyelamatkan jiwa-jiwa ummatnya, adakah manusia yang lebih rendah hati darinya? Pantaskah kita sombong dengan apa yang kita miliki setelah Allah SWT memberikan kita suri tauladan dengan sifat semulia itu? Pantaskah kita bersifat acuh pada gelandangan yang kita pandang sebelah mata itu saat pemimpin kita memberikan contoh kerendahan hati untuk menyuapi pengemis buta yang tak henti-henti mengejeknya selagi beliau menyuapinya? Barangkali itulah yang dunia ini butuhkan, kerendahan hati.
Sudikah kita menyapa satpam yang tiap pagi kita temui di tempat parkir? Enggankah kita berterima kasih pada tukang kebun tua yang setiap hari menyirami tanaman di taman agar kita memiliki tempat untuk rileks dari tekanan pekerjaan? Sudahkah kita mencium kaki Ibu kita yang semakin menua, yang dengan bangganya kita tinggalkan di rumah karena "kita sudah mandiri"? Hablumminannas, mungkin kekecewaan kita telah mengalahkan kasih sayang kita pada sesama, namun jagalah hati kita agar tidak terpengaruh oleh tindakan buruk yang dilakukan dunia dan seisinya pada kita, bicara seperlunya dan sebaik-baiknya, sayangi mereka yang tak seberuntung kita (setidaknya menurut kita), bersikap tulus di hadapan mereka yang lebih beruntung dari kita (jilatlah es krim saat keinginan itu muncul di depan pimpinan), mungkin kelak kita akan menemukan kembali keajaiban dunia yang dulu kita pandangi dengan bola mata kecil penuh takjub kita. Saya sama sekali bukan orang suci, saya hanya manusia yang bersyukur (sebagian) aib saya masih ditutupi Allah SWT, saya sendiri tidak tahu apakah keresahan ini muncul karena mendekati bulan Ramadhan atau karena dewasa ini saya sering melupakan orang-orang terdekat saya, mungkin proses kontemplasi diri ini membuat otak saya sedikit sinting.
Wallahu'alam
Bramantyo Adi Nugroho
A believer