Wednesday 10 June 2015

Cermin

Semua orang pernah merasa kecewa, konon orang bahagia adalah mereka yang bangkit dari kekecewaan, karena hadapilah, 3/5 hidup kita dihabiskan dengan kecewa, kecewa karena kita absen jam 08.01, kecewa karena kehabisan gorengan mang jaja, kecewa karena dunia diam saat Rohingya terdzhalimi, kecewa karena dunia tak lagi magis seperti saat kita kecil, semua kekecewaan karena ekspektasi aneh yang muncul dari ruang kecil dalam kepala kita. Saat kecewa itu lah jiwa kita memberikan respon, sebagian menghadapinya dengan tenggelam dalam kegilaan dunia (seperti kata petuah "if you can't defeat them, join them"), pesta tak berakhir, alkohol agar lupa, wanita sebagai bukti kejantanan, sebagian beralih mengejar yang lebih tinggi dari dunia ini, surga, ibadah tanpa henti, mengharap dunia berhenti, di sana semua nyata dan tak ada kecewa.
Sejujurnya saya tidak tahu mana yang lebih baik di antara keduanya, bagi pikiran gila saya kedua opsi menyajikan solusi dalam menghadapi "kecewa". Ya, rasanya tidak adil kan, kita tak pernah memilih untuk dilahirkan, namun dunia terus saja mengkhianati kita, kenapa kita harus memikirkannya saat dunia dan seisinya tak memikirkan kita? salahkah bila kita memilih tenggelam dalam arusnya? atau bila kita memilih berenang ke darat dan meninggalkannya? di antara kegaduhan akan selalu muncul kalimat "kita hanya melakukan hal yang menurut kita paling baik untuk diri kita sendiri", kalimat pembenaran yang menenangkan bagai morphin untuk pasien yang tak kuasa menahan luka. Sadar atau tidak, kegaduhan itu tak akan berhenti selama kita memikirkan apa yang terbaik bagi diri kita.
Orang yang paling kita kenal adalah diri kita sendiri, tak ayal kita menganggap orang atau golongan tertentu aneh karena tak sependapat dengan kita, tak peduli walau perbedaan adalah hal yang wajar bila mengingat realitas yang kita anggap "nyata" adalah sekumpulan pengalaman yang kita alami dan membentuk diri kita. Dari situ lah muncul kosakata youniverse, sebuah semesta dimana hanya kita yang nyata, mata kita adalah kunci kebenaran dan pikiran kita adalah sabda. Apatis, dunia mendorong kita untuk bersifat acuh, mohon pahami bahwa saya sedang berusaha sopan, apathetic is merely a softer language for being cocky, kita ini sombong, bahkan terlalu sombong untuk mengakui bahwa hidup kita lebih penting dari hidup orang lain.
Adakah hal yang lebih mudah dari melarikan diri? Hey, bukankah hidup yang demikian adalah melarikan diri? Tentu saja tak akan ada yang menghakimi tindakan demikian, semua orang tahu bahwa hidup itu tidak mudah, tapi mari kita renungkan bagaimana bila Rasulullah SAW memiliki sifat demikian, tidak mungkin tentu saja, tapi coba sebentar saja kita renungkan kalau Rasulullah SAW memiliki sifat sombong seperti kita. Rasulullah SAW, satu-satunya manusia yang telah menginjak Sidratul Muntaha, bertemu Allah SWT, dijaminkan tempat tertinggi dalam surga, kemudian kembali ke dunia yang menurut otak kecil kita ini tidak adil, beliau rela kembali untuk membuatnya menjadi tempat yang lebih baik untuk ummatnya, rela diperlakukan rendah untuk menjadi teladan dan menyelamatkan jiwa-jiwa ummatnya, adakah manusia yang lebih rendah hati darinya? Pantaskah kita sombong dengan apa yang kita miliki setelah Allah SWT memberikan kita suri tauladan dengan sifat semulia itu? Pantaskah kita bersifat acuh pada gelandangan yang kita pandang sebelah mata itu saat pemimpin kita memberikan contoh kerendahan hati untuk menyuapi pengemis buta yang tak henti-henti mengejeknya selagi beliau menyuapinya? Barangkali itulah yang dunia ini butuhkan, kerendahan hati.
Sudikah kita menyapa satpam yang tiap pagi kita temui di tempat parkir? Enggankah kita berterima kasih pada tukang kebun tua yang setiap hari menyirami tanaman di taman agar kita memiliki tempat untuk rileks dari tekanan pekerjaan? Sudahkah kita mencium kaki Ibu kita yang semakin menua, yang dengan bangganya kita tinggalkan di rumah karena "kita sudah mandiri"? Hablumminannas, mungkin kekecewaan kita telah mengalahkan kasih sayang kita pada sesama, namun jagalah hati kita agar tidak terpengaruh oleh tindakan buruk yang dilakukan dunia dan seisinya pada kita, bicara seperlunya dan sebaik-baiknya, sayangi mereka yang tak seberuntung kita (setidaknya menurut kita), bersikap tulus di hadapan mereka yang lebih beruntung dari kita (jilatlah es krim saat keinginan itu muncul di depan pimpinan), mungkin kelak kita akan menemukan kembali keajaiban dunia yang dulu kita pandangi dengan bola mata kecil penuh takjub kita. Saya sama sekali bukan orang suci, saya hanya manusia yang bersyukur (sebagian) aib saya masih ditutupi Allah SWT, saya sendiri tidak tahu apakah keresahan ini muncul karena mendekati bulan Ramadhan atau karena dewasa ini saya sering melupakan orang-orang terdekat saya, mungkin proses kontemplasi diri ini membuat otak saya sedikit sinting.
Wallahu'alam

Bramantyo Adi Nugroho
A believer


Thursday 1 January 2015

2015, Bonus Demografi dan Resolusi



Proyeksi Jumlah Penduduk Indonesia


Kita sering mendengar istilah Bonus Demografi sejak Bappenas melaporkannya di tahun 2012, tapi apa sebenarnya manfaat dari bonus tersebut? Bonus Demografi adalah keuntungan secara ekonomis sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun), artinya negara kita memiliki lebih banyak aset Sumber Daya Manusia produktif dibanding beban SDM yang belum atau sudah tak memiliki produktivitas. Pada tahun 2012 kita memiliki bonus demografi sebesar 49,6%, hampir setengah jumlah penduduk kita adalah penduduk produktif, dan rasio ini diproyeksikan akan terus meningkat hingga pada tahun 2035 nanti menjadi sebesar 70%, tapi apa manfaat dari semua data tersebut? Data menunjukkan bahwa bonus demografi berkontribusi meningkatkan pertumbuhan ekonomi antara 10-15% di Thailand, Taiwan dan Korea, bonus demografi ini dapat dijadikan momentum kebangkitan perekonomian Indonesia bila dimanfaatkan dengan baik.

Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai kaum muda produktif dalam menyikapi bonus tersebut? Dengan berkurangnya beban penduduk tidak produktif di pundak kita, secara logika kemampuan finansial dan fiskal kita akan dapat mendorong perekonomian Indonesia, namun itu dengan asumsi bahwa penduduk produktif kita benar “mampu berproduksi” dan pemerintah mampu mengakomodir lapangan kerja untuk penduduk produktif tersebut. Kenapa harus memikirkan hal yang tidak bisa kita kendalikan? Biarkan pemerintah melakukan tugasnya, tugas kita adalah memenuhi syarat yang pertama, sudah cukup mampukah kita bersaing dengan SDM dari negara lain? Pertanyaan tersebut menjadi sangat menantang mengingat mulai tahun 2015 ini kita akan memasuki tahun awal AFTA (Asean Free Trade Area) dimana selain perdagangan dan investasi asing yang diberi kebebasan fiskal, SDM asing pun dapat dengan bebas bekerja di Indonesia, pemerintah bahkan belum mampu menyediakan lapangan kerja untuk warganya sendiri, bayangkan apa yang akan terjadi bila kita tidak meningkatkan kualitas diri kita dan membuktikan bahwa kita lebih baik dari SDM asing tersebut.

Atas dasar tersebut, adalah kewajiban kita -sebagai generasi muda yang pada tahun 2035 nanti diproyeksikan sebagai tonggak kepemimpinan bangsa- untuk meningkatkan kualitas diri kita, dan disana lah pendidikan berperan penting untuk mewujudkannya. Pendidikan adalah modal utama seseorang untuk meningkatkan kualitas hidupnya, meskipun pendidikan bisa didapatkan dimanapun dan melalui media apapun, tak dapat dipungkiri bahwa fasilitas pendidikan membuka banyak peluang bagi seseorang untuk meningkatkan nilai dan kualitas hidupnya. Kita melihat Bill Gates, Mark Zuckerberg dan Steve Jobs sebagai mahasiswa Drop Out yang sukses dan menjadi milliuner tanpa memiliki ijazah tinggi, kita lupa bahwa Bill Gates dan Mark Zuckerberg memiliki kapasitas untuk berkuliah di Harvard University (walau mereka menemukan jalan lebih baik tanpa ijazah, tapi kesempatan mereka dimulai dari sana), dan Steve Jobs, sebesar penyesalan dia memasuki sekolah tinggi, sebesar itu pula semangatnya dalam mengembangkan dirinya, bayangkan bila ia tak pernah mengikuti kursus kaligrafi, atau ia tidak mendalami dunia seni animasi, tak terbayangkan akibatnya pada dunia teknologi saat ini.

Kontinuitas adalah kunci, mengembangkan diri harus dilakukan secara terus menerus, bukan masalah dimana kita menerima pendidikan, tapi dimanapun kita harus bisa menjadikannya sebagai pendidikan, bila kita sedang belajar di jenjang perkuliahan, temukan lahan belajar lain selain di kelas, bila kita sedang bekerja, jadikan pengalaman bekerja dan networking sebagai ajang menambah nilai diri, bila kita sedang menjalankan bisnis, jangan berpuas diri dengan produksi sejumlah x, bila kita bisa memproduksi 100x dari jumlah sumber daya yang sama kenapa harus berhenti berinovasi? Pendidikan adalah tanggung jawab kita masing-masing, pemerintah hanya mampu menyediakan fasilitas belajar dan kurikulum yang dipandang relevan untuk bangsa, namun pilihan untuk mendidik dan mengembangkan diri adalah sepenuhnya plerogatif kita masing-masing.

Belum lama kembang api menyambut tahun baru 2015 berpijar di angkasa, lalu apa yang akan kita lakukan tahun ini untuk menyongsong bonus demografi Indonesia? Resolusi saya adalah melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan apapun pilihan anda, kesempatan telah hadir di depan mata, bonus demografi adalah pedang bermata dua, tidak mempersiapkannya dengan baik maka ia akan menjadi bumerang keras di wajah kita, persiapkan dan sikapi dengan baik maka ia akan meningkatkan kita ke level yang lebih tinggi, dan pilihan untuk membuangnya atau memaksimalkannya sampai tetes terakhir adalah sepenuhnya plegoratif anda, the future is there for the taking.

Bramantyo Adi Nugroho
An appraiser who happens to devote his life for education
Currently works as a govt official at LPDP Ministry of Finance
Know me better on twitter @bramlennon