Sunday 13 July 2014

monolog tata surya

Akhirnya kita hanya bisa menjadi pelajaran dan catatan kelam

Ada masa dimana mimpi terburai tak berhenti diciptakan
Berjejer di emperan jalan, tercecer tak dihargai
Seluruh dunia menjadi panggungnya,
tarian kita menghadirkan riuh riang memekikkan telinga

kemana sayap itu saat kita membutuhkannya
senyum terpancar isi hati siapa yang tau
mungkin saja kala itu kita masih bisa terus menari
mungkin saja kala itu kita tak harus lari
tapi bukankah kita hanyalah pelarian dari kenyataan?

Kita hanyalah sepasang buih mimpi di lautan kehidupan
Mengejar ilusi di sepanjang ombaknya
Hingga tiba kita mencapai batasnya
Kita memang sudah hancur, meledak di keheningan malam
Tapi setidaknya kita pernah menantang dunia di dalam kerapuhan kita


 Terlintas sepotong dialog dari perjalanan ke Semarang kemarin, “berarti lo jahat dong?”, yes dear, I am, but then again, I couldn’t help it myself, my whole body down to the atomic nuclei craved for you. But I swear to god, I did the best I could, I gave my best, all of what’s left (than that little part that had always been occupied) I had given to her. It’s not me or the universe who created that parallel time dimension, it was her, and I am thankful for those short time. 

Kepada Matahari, Maaf dan Terima Kasih.


Bramantyo Adi Nugroho
Grateful man
condemned to chase angelic delusion


No comments:

Post a Comment